Bolu Pisang dan Es Krim
Image source https://www.pexels.com/ |
Sebelum saya melanjutkan, izinkan saya untuk meminta izin kepada penulis
cerpen yang sangat indah ini, untuk saya posting di sini. Cerpen ini saya dapatkan
dari grup wa. Semoga bermanfaat.
***
"Bu, kakak ranking satu, mana janji ibu mau beliin es krim,"
rengek Dika putra sulungku. Sejak pulang sekolah ia selalu saja menagih
janjiku. Mana kutahu bila si sulung yang baru kelas dua SD akan meraih ranking
satu, pikirku saat berjanji paling dia hanya akan masuk sepuluh besar saja
seperti biasa.
"Sabar ya, Nak, tunggu ibu gajian tanggal satu," janjiku,
padahal aku pun tahu tanggal satu nanti upah menjadi buruh cuci separuhnya akan
habis menyicil hutang pengobatan ketika almarhum suami sakit dulu.
Dika cemberut. Aku tahu dia kecewa. Tak banyak pinta anak ini
sebenarnya, hanya sebuah es krim ketika ia ranking satu. Tapi bagiku itu barang
mahal.
Ah seandainya saja Dika ranking dua atau tak usahlah ranking
sekalian, ia pasti tak sekecewa ini.
Keterpurukan hidupku bermulai ketika suami yang tiap hari bekerja
sebagai buruh bangunan kecelakaan dan lumpuh. Tiap Minggu harus bolak balik
kontrol ke rumah sakit, walau pakai BPJS namun kerepotan ini tetap membutuhkan
biaya hingga hutang pun menumpuk.
Ketika suami akhirnya pergi selamanya, hutang-piutang pun berdatangan
meminta haknya untuk dilunasi.
Aku pasrah. Memohon kepada si pemberi hutang agar memberi kelonggaran
dengan mencicil.
Bukan tak mau bekerja lebih giat lagi, namun selain Dika, aku memiliki
Anita putri bungsuku yang masih berusia dua tahun. Tak semua orang mau menerima
pekerja rumah tangga yang membawa balita.
Sejak itu aku melakukan kerja apapun, mulai dari buruh cuci, hingga
upahan membuat kue. Kebetulan kata orang-orang bolu pisang buatanku enak.
(Mbak, bisa buatin bolu pisang?) Sebuah pesan masuk.
Aku bersorak.
Alhamdulillah tak sia-sia mengisi pulsa data beberapa hari yang lalu dan
mengaktifkan WA ku. Ada pesanan masuk.
(Bisa Mbak, mau berapa loyang?)
(2 loyang, ngambilnya kira kira jam 1 bisa?)
(Bisa Mbak.) Aku menyanggupi.
(Tapi bolu pisangnya jangan pakai gula ya, biar manisnya ngambil dari
pisangnya saja. Anakku alergi gula.)
(Siap, Mbak. Otw dibuat.)
(Berapa harganya?)
(50.000 Mbak.)
(40.000 saja ya, kan gak pakai gula.)
Aku menelan ludah. Ya Tuhan, padahal dalam tiap loyangnya aku hanya
mengambil untung 10.000.
(Ya sudah karena Mbak ngambil dua, aku kasih.)
(Oke, tapi aku gak bisa ngambil ke rumah ya, Mbak. Aku mau pergi liburan,
jadi jam 1 aku tunggu di depan SMP yang ada di simpang itu.)
(Oke siap.)
Aku segera gerak cepat menyiapkan semua bahan dan mulai bekerja. Baru
jam sembilan berarti masih banyak waktu luang. Kebetulan ada pisang Ambon yang
belum terpakai jadi gak perlu beli ke pasar.
Alhamdulillah, aku bisa mendapat untung dua puluh ribu dari penjualan
dua loyang bolu pisang.
Sepuluh ribunya bisa buat beli es krim harga lima ribu untuk si sulung
dan bungsu dan sisanya untuk tambahan belanja besok.
Setelah jam 12.30 aku segera berangkat menuju tempat yang dijanjikan. Si
sulung mengekor langkahku dengan riang karena terbayang es krim yang bakal
didapat. Si bungsu sedang tidur siang jadi kugendong saja.
Tempat janjian kami cukup jauh sekitar setengah kilometer dari rumah.
Walau tengah hari dan terik matahari tengah garang menyerang, aku tetap
semangat, demi 20.000.
Jam satu kurang lima menit kami telah tiba di tempat janjian. Mungkin
sebentar lagi yang memesan akan datang.
Sepuluh menit, dua puluh menit hingga tiga puluh menit berlalu namun tak
kunjung ada tanda bila si pemesan akan datang.
Beberapa pesan telah kukirim sejak tadi namun hanya terkirim dan belum
dibaca.
Aku menelpon berkali-kali pun tak kunjung diangkat. Sudah hampir satu
jam menanti.
Si sulung telah lelah dan merengek sementara si bungsu telah bangun dan
ikut meraung karena kepanasan.
Ting! Sebuah pesan masuk. Hatiku bersorak, dari si pemesan kue.
(Ya Allah Mbak, maaf ya aku lupa. Ini suami berubah pikiran, awalnya dia
bilang berangkat jam 2 eh tahunya jam sepuluh udah mau buru-buru. Jadi gak
sempat kasih kabar. Mbak, jual bolunya sama orang lain saja ya, aku udah otw ke
kampung.)
Aku langsung terduduk lemas. Ya Allah, ya Allah, ya Allah. Apalagi ini?
Aku tak meminta banyak ya Allah, hanya es krim saja.
Peluhku yang sudah sejak tadi mengucur, kini bercampur dengan air
mata.
Siapa yang ingin membeli bolu pisang tanpa gula dengan rasa manis yang
alakadarnya?
Ya Allah, berkali aku menyeka air mata yang terus membasahi wajah.
Sulungku berhenti merengek, ia langsung diam melihat air mataku. Lama ia
menatapku iba. Kedua netranya mulai berkaca. Tak tega hati ini melihatnya. Ia
hanya ingin es krim seharga 5000 ya Allah.
"Dika gak akan minta es krim lagi Bu, tapi ibu jangan nangis."
Dika kecilku berkata dengan suara yang bergetar. Sepertinya ia pun menahan
tangis.
"Kita pulang, Nak," ucapku. Dika mengangguk, si bungsu pun
tangisnya mulai mereda. Sepertinya ia mengerti akan kegundahan hati ini.
Ya Allah, beginilah rasanya. Sakit ya Allah, sakit, sakit, sepele bagi
mereka namun begitu berat bagiku. Bahan-bahan bolu itu adalah modal terakhir
dan kini seolah sia-sia.
Ya Allah, berkali kali aku menyebut nama-Nya. Berat, sungguh berat,
belum lama suamiku pergi dan kini rasanya aku lemah.
Tak banyak ya Allah hanya ingin es krim saja, itu saja, untuk
menyenangkan buah hatiku dan kini bukan untung yang kudapat malah kerugian yang
telah nyata di depan mata.
Aku baru saja memasuki halaman rumah kontrakan ketika Bu Tia tetanggaku
kulihat telah menunggu.
"Eh, ibunya Dika, dicariin, untung cepat pulang."
"Ada apa Bu?" tanyaku. Semoga saja wanita baik ini akan
memberikanku perkerjaan. Apa saja boleh, bahkan yang terkasar sekalipun akan
kuterima. Tapi gak mungkin, di rumah besarnya sudah ada dua pembantu yang siap
sedia. Aku kembali membuang anganku.
"Gini, ibu jangan tersinggung ya." Bu Tia menatapku.
Aku mengangguk, ingin kukatakan bila rasa tersinggung itu sudah lama
lenyap dalam kamus hidupku.
"Papanya anak-anak kan baru pulang jemput kakek neneknya dari
bandara. Ya dasar laki-laki tahunya kan cuma nyenengin anak tapi gak tahu yang
baik. "
Aku mengangguk walau belum paham kemana arah pembicaraan.
"Masa dia ngebeliian anak-anak es krim sampai lima buah. Padahal
anakku kan masih batuk pilek parah. Jadi, daripada buat rusuh, mau ya Bu nerima
es krim ini, untuk Dika dan adiknya." Bu Tia menyerahkan plastik putih
berisi es krim padaku.
Aku terdiam tak sanggup berkata-kata.
"Asikkk." Dika bersorak, aku masih bergeming.
"Lo, yang ibu bawa itu apa?" tanya Bu Tia melirik kantong
hitam berisi dua kotak bolu pisangku.
"Bolu pisang Bu, tapi gak manis, kebetulan yang mesan batal.
"
"Wah kebetulan, neneknya di rumah itu diabetes jadi gak bisa makan
manis. Saya beli ya untuk cemilan."
"Benar Bu?" Aku bertanya tak percaya.
"Iya, berapa harganya?"
"Berapa saja, Bu. Terserah, asal jadi uang."
"Ya sudah." Bu Tia menyerahkan dua lembar uang merah ke dalam
genggamanku.
"Ya Allah Bu ini kebanyakan ," ucapku.
"Sudah, gak apa. Ambil saja, kalau mesan yang kayak gini emang
mahal kok Bu." Bu Tia langsung mengambil kantong berisi bolu pisang dan
bergegas pergi.
Aku masih diam dengan air mata yang mulai menetes lagi. Baru saja
mengeluh akan pahitnya hidup dan kini semua telah terbayar lunas.
***
Bu Tia meletakkan bolu pisang yang baru ia beli di atas meja
makan.
Ia duduk dan memandang dua kotak bolu pisang itu dengan tatapan
berkaca.
Sungguh dzolim sebagai tetangga, bahkan ada seorang janda yang kesusahan
pun ia tak tahu. Sementara baru saja ia membeli tas branded seharga jutaan dan
tak jauh dari rumahnya ada seorang anak yatim merengek pada ibunya hanya demi
sebuah es krim.
Untung saja Fahri putranya bercerita, bila tidak pastilah kedzoliman ini
akan terus berlangsung.
"Ma, tadi yang juara 1 Dika, tetangga kita yang di ujung itu."
lapor putra sulungnya.
"Bagus dong, les dimana dia?"
"Gak les kok, Ma. Orang dia miskin kok."
"Hey, gak boleh menghina orang lain." Bu Tia melotot pada
putranya.
"Gak menghina kok. Kenyataan emang dia miskin. Kasihan deh Ma, masa
kan ibunya janji mau beliin dia es krim kalau ranking satu eh pas dia ranking
malah ibunya bilang tunggu ada uang. Kasihan banget Dika ya, Ma. Mana kalau di
sekolah dia suka mandang jajanan temannya kayak ngiler gitu tapi pas dikasih
dia nolak. Malu mungkin ya, Ma." Fahri bercerita panjang lebar.
Bu Tia terdiam.
Ya Allah mengapa ia tak tahu? Selama ini, ia aktif ikut kegiatan sosial,
mengunjungi panti asuhan ini dan itu. Namun ia abai akan keadaan di
sekitar.
"Ma, bolunya gak ada rasa, kurang enak," ucap Fachri
membuyarkan lamunannya.
"Sengaja, makannya bukan gitu. Tapi kamu oles mentega dan taburi
meses atau kamu oles selai buah."
"Ohhh, gitu ya. Tumben mama pesan bolu tawar."
"Lagi pengen aja."
Bu Tia menghela napas panjang. Tak akan terulang lagi, jangan sampai ada
tangis anak yatim yang kelaparan di sekitarnya.
Anak yatim itu bukan tanggung jawab ibunya saja tapi keluarga dan orang
sekitar.
***
Sepele bagi kita namun berarti bagi mereka.
Ada kala sisa nasi kemarin sore yang tak tersentuh di atas meja makan
kita adalah mimpi dari anak-anak yang telah berhari-hari terpaksa hanya
berteman dengan ubi rebus saja.
Jangan heran menatap binar seseorang yang begitu terharu ketika gaun
pesta yang menurut kita sudah ketinggalan jaman itu kita berikan pada
mereka.
Uang lima puluh ribu yang sangat mudah lenyap ketika dibawa ke mini
market bertukar dengan kinderj*y dan beraneka jajanan yang habis dalam sekejap
itu adalah setara dengan hasil kerja keras seorang buruh dari subuh hingga
menjelang Malam.
Bersedekah itu gak perlu banyak, sedikit saja dari yang kita punya.
Memberi itu jangan menunggu kaya, saat kekuranganlah justru diri harus lebih
bermurah hati.
Beruntunglah bila di sekitar begitu banyak ladang sedekah dimana kita
dapat menukar rupiah menjadi pahala. Kaya itu bukan pada jumlah harta tapi
bagaimana kita membelanjakannya. Akherat itu ada dan sudahkah kita menyiapkan
hunian di sana?
*Pengingat diri agar lebih peka.
SILAHKAN DI SHARE BILA DIRASA TULISAN INI BERMANFAAT. BILA SESEORANG
MENDAPATKAN MANFAAT DARI KEBAIKAN YANG KITA BAGIKAN, MAKA KITA AKAN IKUT
MENDAPATKAN PAHALA. HIDUP INI SINGKAT, MAKA PERBANYAKLAH AMAL PERBUATAN BAIK,
UNTUK BEKAL KITA DI AKHIRAT KELAK.
0 Response to "Bolu Pisang dan Es Krim"
Post a Comment