-->

PERPAJAKAN 1 | BAGIAN 02 DASAR-DASAR PERPAJAKAN (2)


PENGELOMPOKAN PAJAK


  A. Menurut golongannya.
  1. Pajak langsung, yaitu pajak yang harus dipikul sendiri oleh Wajib Pajak dan tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Contoh: Pajak Penghasilan (PPh). 
  2. Pajak tidak langsung, yaitu pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Contoh: Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
  B. Menurut sifatnya.
  1. Pajak subjektif, yaitu pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subjeknya, dalam artian memerhatikan keadaan diri Wajib Pajak. Contoh: Pajak Penghasilan (PPh).
  2. Pajak objektif, yaitu pajak yang berpangkal pada objeknya, tanpa memerhatikan keadaan diri Wajib Pajak. Contoh: Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
  C. Menurut lembaga pemungutnya.
  1. Pajak pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga negara. Contoh: Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Penjualan atas Barang Mewah, dan Bea Meterai.
  2. Pajak daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah. Pajak daerah terdiri dari pajak provinsi (contoh: Pajak Kendaraan Bermotor dan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor) dan pajak kabupaten/kota (contoh: Pajak Hotel, Pajak Restoran, dan Pajak Hiburan.


TATA CARA PEMUNGUTAN PAJAK

  A. Stelsel Pajak
  1. Stelsel nyata (riel stelsel). Pengenaan pajak didasarkan pada objek (penghasilan yang nyata), sehingga pemungutannya baru dapat dilakukan pada akhir tahun pajak, yakni setelah penghasilan yang sesungguhnya diketahui.
  2. Stelsel anggapan (fictieve stelsel). Pengenaan pajak didasarkan pada suatu anggapan yang diatur oleh undang-undang. Misalnya, penghasilan suatu tahun dianggap sama dengan tahun sebelumnya, sehingga pada awal tahun pajak sudah dapat ditetapkan besarnya pajak yang terutang untuk tahun pajak berjalan.
  3. Stelsel campuran.Stelsel ini merupakan kombinasi antara stelsel nyata dan stelsel anggapan. Pada awal tahun, besarnya pajak dihitung berdasarkan suatu anggapan, kemudian pada akhir tahun besar pajak disesuaikan dengan keadaan yang sebenarnya. Bila besar pajak menurut kenyataan lebih bedar daripada pajak menurut anggapan, maka Wajib Pajak harus menambah. Sebaliknya, jika lebih kecil kelebihannnya dapat diminta kembali.  
  B. Asas Pemungutan Pajak
  1. Asas domisili (asas tempat tinggal). Negara berhak mengenakan pajak atas seluruh penghasilan Wajib Pajak yang bertempat di wilayahnya, baik penghasilan yang berasal dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Asas ini berlaku untuk Wajib Pajak dalam negeri.
  2. Asas sumber. Negara berhak mengenakan pajak atas penghasilan yang bersumber di wilayahnya tanpa memerhatikan tempat tinggal Wajijb Pajak.
  3. Asas kebangsaan. Pengenaan pajak dihubungkan dengan kebangsaan suatu negara.
  C. Sistem Pemungutan Pajak
  1. Official Assessment System. Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak.
  2. Self Assessment System. Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada Wajib Pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang.
  3. Withholding System. Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan Wajib Pajak yang bersangkutan) untuk memotong atau memungut pajak yang terutang oleh Wajib Pajak.

TIMBUL DAN HAPUSNYA UTANG PAJAK

Ada dua ajaran yang mengatur timbulnya utang pajak:
  1. Ajaran Formil. Utang pajak timbul karena dikeluarkannya surat ketetapan pajak oleh fiskus. Ajaran ini diterapkan pada official assessment system.
  2. Ajaran Materiil. Utang pajak timbul karena berlakunya undang-undang. Seseorang dikenai pajak karena suatu keadaan dan perbuatan. Ajaran ini diterapkan pada self assessment system.
Hapusnya utang pajak dapat disebabkan beberapa hal:
  1. Pembayaran
  2. Kompensasi
  3. Kadaluwarsa
  4. Pembebasan dan penghapusan

HAMBATAN PEMUNGUTAN PAJAK

Hambatan terhadap pemungutan pajak dapat dikelompokkan menjadi:

  A. Perlawanan Pasif. Masyarakat enggan (pasif) membayar pajak yang disebabkan oleh:
  1. Perkembangan intelektual dan moral masyarakat.
  2. Sistem perpajakan yang (mungkin) sulit dipahami masyarakat.
  3. Sistem kontrol tidak dapat dilakukan atau dilaksanakan dengan baik.

  B. Perlawanan Aktif. Meliputi semua usaha dan perbuatan yang dilakukan oleh wajib pajak dengan tujuan untuk menghindari pajak. Bentuknya antara lain:
  1. Tax avoidance, usaha meringankan beban pajak dengan tidak melanggar undang-undang.
  2. Tax evasion, usaha meringankan beban pajak dengan cara melanggar undang-undang (menggelapkan pajak).

TARIF PAJAK

Ada 4 macam tarif pajak:
  1. Tarif sebanding/proporsional. Tarif berupa persentase yang tetap, terhadap berapapun jumlah yang dikenai pajak sehingga besar pajak yang terutang proporsional terhadap besar nilai yang dikenai pajak. Contoh: untuk penyerahan barang kena pajak di dalam daerah pabean akan dikenakan Pajak Pertambahan Nilai sebesar 10%.
  2. Tarif tetap. Tarif berupa jumlah yang tetap (sama) terhadap berapapun jumlah yang dikenakan pajak sehingga besar pajak yang terutang tetap. Contoh: pengenaan Bea Meterai.
  3. Tarif progresif. Persentase tarif yang digunakan semakin besar bila jumlah yang dikenai pajak semakin besar. Contoh: penerapan tarif pasal 17 Undang-Undang Pajak Penghasilan untuk Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri.
  4. Tarif degresif. Persentase tarif yang digunakan semakin kecil bila jumlah yang dikenai pajak semakin besar.

Referensi:
>> Mardiasmo. 2018. Perpajakan Edisi Terbaru 2018. Jakarta: PENERBIT ANDI. 

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "PERPAJAKAN 1 | BAGIAN 02 DASAR-DASAR PERPAJAKAN (2)"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel